EKONOMI
BAIK HATI
(Sebuah perspektif tentang Economiphobia)
Apa yang sebenarnya dicari manusia dalam hidup ini, apakah
ekonomi selalu menjadi kambing hitam atas segala kekacauan yang terjadi?
Benarkah hal ini yang menjadi bibit dari segala sumber “penyakit” manusia?
Itulah sekelumit pertanyaan yang sering muncul dalam pemikiran orang-orang yang
selalu diliputi kebimbangan dan keraguan seperti saya (penulis).
Meskipun
logika saya menolak keras segala justifikasi terhadap faktor ekonomi sebagai
“biang” dibalik semua ini, namun justru realitas mempertegas hal ini. lihat
saja betapa banyaknya kasus perceraian dan perpecahan keluarga yg disebabkan
oleh selisih paham soal keuangan. Atau bayangkan saja bagaimana bisa secara
sadar orang tua tega menghilangkan nyawa anak keturunannya hanya lantaran
himpitan ekonomi, serta masih banyak contoh kasus lainnya dalam skala kecil,
sedang atau bahkan problematika yang melibatkan banyak Negara saling
berlawanan, kemudian angkat senjata melakukan pembantaian untuk sebuah alasan
yang kadang belum jelas, namun belakangan secara eksplisit diketahui adanya
motif ekonomi yang melatar belakangi, agar mampu menguasai sumber kekayaan
masing-masing pihak. Ironis, namun inilah fakta yang kita hadapi saat ini.
Bahkan Xenophone seorang filsuf yang pertama kali
menyebutkan istilah ekonomi (perpaduan antara Oikos dan Nomos) itu sendiri
tidak pernah membayangkan bahwa sebegitu dahsyat kekuatan sebuah kata, hingga
selalu dijadikan pembenaran untuk meluluh lantakan apapun yang menghalangi
pengusung kepentingan ini. Yang lebih parah pengerukan keuntungan oleh
segelintir penguasa modal dengan melakukan penghisapan dan pemiskinan jutaan
masyarakat. justru, dilakukan dengan dalih kemajuan “Ekonomi Global”, tentunya
dengan motif yang telah tersusun rapi, terselubung dan tanpa jejak khas
layaknya garong mobil kelas kakap (Dijamin aman, lancar dan untung besar).
Itulah sebabnya mengapa tulisan ini banyak mengusung semangat kegelisahan dan
segudang pertanyaan klasik bagi pembaca sekalian sebagai “Homo Economicus”
(subjek dalam aktifitas ekonomi maupun objek bagi proses ekonomi itu sendiri),
karena saya, anda, kawan maupun lawan anda sekalipun atau siapapun sangat
bergantung dengan apa definisi dan pemahaman kita saat ini tentang ekonomi itu
sendiri. Apakah ekonomi itu berarti uang harus tumbuh, kaya, fasilitas, nilai,
serta kejayaan adalah satu-satunya pilihan bahkan segalanya, atau mungkin kita
mengartikan ekonomi itu sebagai aktifitas berbagi, pemerataan, kesederhanaan,
kemakmuran bersama dan interaksi sosial?.
Inilah pilihan yang harus kita
tentukan saat ini, bukan atas dasar ketidak tahuan atau kemunafikan, namun atas
sebuah keyakinan dan keberpihakan. Dan sekarang sepatutnya sebelum kita telalu
jauh mengambil kesimpulan untuk semakin “menenggelamkan” istilah ekonomi dalam
jurang kenistaannya, maka koreksilah dahulu berlandaskan atas apa keyakinan
hidup anda saat ini serta memihak kepada siapakah kita saat ini, kutub
pisitifkah atau negatif, hitam atau putihkah, kaya atau adilkah?. Saya pikir
semuanya semakin mudah atau justru semakin rumit, akibat ketidak jelasan apa
yang kita yakini dalam hidup serta keengganan kita untuk memihak kepada apa
yang seharusnya, maka segalanya menjadi absurd. Inilah hebatnya peradaban yang
cenderung ramai dengan hal-hal baru namun sepi akan nilai-nilai kemanusian.
“Bukan ekonomi yang
menghancurkan nilai kehidupan,Namun homo economicus-lah yang menyebabkan semua
ini…”
(Komunitas Muda
Intelligentsia)